5
Elemen Pembentuk Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang Kuat
OLEH FUAD TANTY BONTANG
Sebuah
budaya K3 yang positif adalah ketika keselamatan dan kesehatan kerja(K3)
memainkan peran yang sangat penting dan menjadi inti nilai dari mereka yang
bekerja di sebuah tempat kerja. Sementara, budaya k3 yang negative terjadi
apabila keselamatan kerja dipandang sebagai sebuah hal yang marginal atau
menjadi beban dari unit kerja
Di
dalam sebuah budaya K3 positif yang kuat, setiap orang bertanggung jawab
terhadap keselamatan kerja dan menerapkan K3 dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap orang akan melakukan yang terbaik untuk identifikasi kondisi dan
perilaku yang tidak aman serta merasa nyaman untuk melakukan intervensi
terhadap hal yang tidak aman itu. Mudahnya, dalam budaya K3 yang kuat setiap
pekerja merasa nyaman untuk berjalan ke direktur pabrik atau CEO untuk membicarakan
tentang masalah-masalah keselamatan kerja
Berikut adalah 5
elemen untuk membentuk Budaya K3 yang kuat versi International Association of
Oil & Gas Producers:
1. Budaya untuk Mencari Informasi (Informed
Culture)
Tetap
mendapatkan informasi dapat membantu organisasi untuk mencegah ketidakwaspadaan
dalam ketiadaan kecelakaan kerja. Organisasi dengan budaya K3 yang kuat selalu
waspada dan percaya bahwa kondisi yang aman dapat bermasalah.Jika orang-orang
tidak melihat apapun yang bermasalah, mereka akan berasumsi bahwa tidak akan
muncul masalah sehingga mereka tidak diharuskan untuk bertindak apapun. Ini
adalah hal yang tidak tepat sehingga perlu usaha-usaha untuk mengikis asumsi
tersebut.
Oleh
karena itu, dalam ketiadaan kejadian kecelakaan kerja dan dalam usaha untuk
mempromosikan perhatian keselamatan kerja yang terjadi, sebuah organisasi harus
membuat sebuah sistem informasi yang mengumpulkan, menganalisa dan membagikan
informasi tentang manusia, technical, organisasi dan faktor lingkungan yang menunjukkan
keseluruhan sistem keselamatan kerja. Sayangnya, hal ini tidak semudah untuk
melaporkan kecelakaan kerja
Menurut
Hopkins, banyak studinya terkait dengan kecelakaan kerja baik mayor ataupun
minor, selalu menunjukkan bahwa sebelumnya sudah ada informasi yang telah
dilaporkan dan dianalisa, informasi inilah yang menjadi sinyal lemah tentang
munculnya kecelakaan kerja suatu saat nanti.
Sebuah
organisasi yang berkomitmen untuk mencegah kecelakaan selalu menyadari
informasi tersebut dan berusaha untuk mencegahnya serta mengumpulkan informasi
lebih banyak. Pekerja dalam budaya tersebut juga didorong untuk melaporkan
kondisi tidak aman, bahaya, prosedur yang tidak efektif, proses yang gagal,
beberapa alarm, dan lain-lain untuk mencegah potensi kecelakaan.
2. Budaya Melaporkan (Reporting Culture)
Organisasi
dalam industri yang beresiko tinggi sedang meningkatkan kepemahaman mereka
tentang keselamatan kerja melalui laporan dan investigasi kecelakaan.
Keengganan untuk menyelidiki dan berdiskusi tentang kecelakaan dapat
mengakibatkan kehilangan peluang untuk mencegah bencana di masa depan dan dapat
diterjemahkan sebagai tanda bahwa produksi dihargai lebih daripada keselamatan
kerja.
Keengganan untuk
melaporkan kecelakaan dapat terjadi ketika proses pelaporan terlalu rumit atau
terdapat ketidakpercayaan di antara berbagai macam lapisan dalam organisasi.
Ini bisa diatasi dengan memperkenalkan sistem pelaporan di mana identitas dari
pelapor hanya diketahui oleh badan yang dipercayai biasanya adalah departemen HSE.
Lebih lanjut,
nilai dari pelaporan haruslah terlihat dari aksi perbaikan, penyebaran
pelajaran yang dapat diambil dari pelaporan serta umpan balik ke pelapor. Ini
membutuhkan sumber daya yang cukup dan kompeten yang siap sedia untuk
investigasi kecelakaan secara efektif
Kita tidak
mungkin bisa menginvestigasi semua laporan dengan kedalaman analisa yang sama,
kita harus bisa untuk memprioritaskan. Parameter berikut harus menjadi kriteria
untuk memprioritaskan laporan:
- Resiko:
Menilai keparahan dan frekuensi potensi dari kejadia
- Peningkatan:
Identifikasi potensi tinggi untuk ide peningkatan
- Tema: Apakah
kejadian selalu berulang?
Peningkatan
laporan bergantung oleh keterlibatan dari seluruh karyawan untuk menjamin
kontribusi dan pelajaran dari proses perbaikan dan peningkatan (improvement).
Untuk belajar dengan baik dari sistem pelaporan dan mengembangkan aksi efektif
terus berlanjut maka 2 aspek ini harus disadari, aspek ini juga menjadi
indikator dari kedewasaan dari budaya K3:
- Menjamin
independensi maksimum dari kecelakaan meskipun hasil investigasi menunjukkan
bahwa terdapat ketiadaan kendali dari manajemen
- Secara aktif
melibatkan manajemen lini untuk mengubah rekomendasi menjadi aksi sehingga
mereka menjadi terlibat di dalam rekomendasi itu. Ini juga membuat mereka
mennyadari peran mereka untuk meningkatkan keselamatan kerja di masa depan
3. Budaya Belajar (Learning Culture)
Budaya belajar
adalah sebuah perpanjangan alami dari budaya pelaporan karena sebuah laporan
tidak akan bisa efektif kecuali apabila organisasi belajar dari pelaporan yang
karyawan buat.
Sebuah
organisasi dengan budaya belajar yang kuat akan mengumpulkan informasi dari
berbagai macam sumber, mengambil pelajaran yang berguna, membagi pelajaran yang
di dapat dan menindaklanjuti proses pengembangan keselamatan kerja. Organisasi
pembelajar akan mencari pandangan yang berlawanan untuk mencari kesempatan
belajar dengan lebih efektif. Mereka terbuka akan berita yang buruk sehingga
informasi tidak “dikecilkan” begitu sampai ke manager. Laporan yang ada
merupakan laporan yang valid karena sistem pelaporan berdasarkan kejujuran dan
kepercayaan. Karena organisasi secara jelas merespon laporan, karyawan merasa
terdorong untuk terus melapor sehingga menghasilkan budaya pelaporan yang
efektif.
Organisasi
pembelajar sangat sensitive dengan pelajaran dari berbagai macam sumber. Mereka
bisa mengambil pembelajaran dari sistem pelaporan internal, analisa root cause
yang sistematik hingga belajar dari kecelakaan dari organisasi eksternal
Organisasi pembelajaran
memiliki karyawan profesional yang memilki pekerja untuk menganalisa informasi
dan mengambil keuntungan dari hasilnya. Karyawan-karyawan ini memiliki ciri:
-
Mengidentifikasi problem dan pelajaran
- Mengembangkan
rencana dengan manager lokasi untuk mengatasi masalah
-
Mengimplementasikan pelajaran yang dapat diambil ke seluruh organisasi
Organisasi
pembelajar juga menghindari informasi penting yang hilang bersamaan dengan
karyawan mereka yang mundur dari pekerjaan. Hal ini dikarenakan mereka sudah
menganalisa, menyimpan, menyebarkan dan membangun informasi-informasi penting
ke dalam penerapan yang terus berkelanjutan.
4. Budaya Fleksibel (Flexibility Culture)
Budaya fleksibel
dalam sebuah organisasi akan memungkinkan organisasi untuk mempertahankan
koordinasi dalam level yang efektif dan perhatian yang tepat mengingat terdapat
perbedaan dalam proses pengambilan keputusan karena perbedaan tingkat urgensi
dan kehandalan dalam orang-orang yang terlibat.
Budaya fleksibel
ditandai dengan kemampuan untuk mengganti struktur organisasional dari hierarki
konvensional ke struktur operasional yang lebih setara (flat) tanpa harus
kehilangan kualitas dalam pengambilan keputusan. Ciri budaya fleksibel adalah
responsif, melibatkan dan beradaptasi serta berfokus pada kemampuan seseorang
sebagai sebuah individu untuk terlibat dalam pemecahan masalah ketimbang
kemampuan orang tersebut sebagai bagian dari struktur organisasi.
Sangatlah
penting bagi sebuah perusahaan untuk menyadari jangkauan kemampuan dari
karyawannya dan bagaimana menggunakan skil tersebut ketika diperlukan. Banyak
orang yang menghargai kesempatan untuk mempertunjukkan kemampuan mereka dalam
organisasi yang pada ujungnya akan membuat budaya fleksibel di perusahaan akan
lebih baik lagi.
Organisasi yang
ingin mendapat budaya fleksibel harus melatih kemampuan mereka dan mengkaji
aksi yang diberikan untuk merespons ancaman dari kejadian, memastikan
fleksibilitas structural yang cocok dan efektif. Pada akhirnya budaya fleksibel
bercirikan sebagai berikut:
- Mampu untuk
menyesuaikan diri sendiri dalam menghadapi operasi kerja yang cepat dan
beberapa bahaya yang muncuk
- Memiliki
kemampuan untuk memodifikasi struktur yang konvensional menjadi struktur yang
lebih setara
- Memiliki
tingkat keahlian yang sesuai untuk membuat penilaian dan keputusan
5. Budaya Adil (Just Culture)
Budaya Adil
merupakan sarana yang kuat untuk elemen-elemen lain dalam budaya k3. Harapan
yang jelas, implementasi yang konsisten terhadap semua peraturan, proses
investigasi yang adil serta respons yang adil terhadap mereka yang melanggar
peraturan akan menjadi pesan yang kuat bagi seluruh karyawan tentang hak dan
kewajiban mereka yang benar.
Penting untuk
sebuah organisasi agar menetapkan batasan-batasan yang tidak jelas. Misalnya
pada masalah kekerasan dalam tempat kerja atau kecanduan alcohol, batasan
tersebut secara terus menerus bergerak dan dinegosiasi kembali. Bahkan,
kasus-kasus pelanggaran yang seharusnya jelas seperti kecanduan narkoba,
pengendalian yang dilakukan oleh organisasi dapat bervariasi. Organisasi bisa
saja menghukum pencandu narkoba atau justru mengirimnya ke pusat rehabilitasi
sebagai bentuk dukungan untuk karyawan dalam keadaan sulit tersebut.
Oleh karena itu,
sangatlah penting untuk menetapkan batasan-batasan dalam organisasi dan
mengkomunikasikan ke seluruh karyawan serta diterapkan secara konsisten.
Referensi:
International
Association of Oil and Gas Producers. (2013, October). Shaping Safety Culture
Throgh Safety Leadership. Retrieved June 3, 2015, from International
Association of Oil and Gas Producers: http://www.ogp.org.uk/pubs/452.pdf
Semoga
bermanfaat!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar